Timor Leste |
RIEN
Kuntari, wartawan Kompas, adalah salah seorang Indonesia yang mempunyai
akses sangat luas di Timor Leste. Ia adalah satu-satunya wartawan
Indonesia yang bisa tidur di kemah Taur Matanruak, kini Panglima
FDTL/ETDF (Angkatan Beladiri Timor Leste), ketika mewawancarainya di
saat-saat terakhir yang amat kritis menjelang Referendum 1999.
Untuk
mewawancara Taur Matanruak, Rien harus berjalan kaki puluhan kilometer
di hutan, yang menjadi pangkalan gerilya Fretilin di pegunungan yang
menghadap ke Lautan Pasifik Selatan. Demikian dekat Rien dengan sejumlah
petinggi di Timor Leste sekarang ini, sehingga menurut seorang
kepercayaan Xanana, Presiden Timor Leste itu menyebut Rien dengan ”orang
kita.”
Maka,
hari Minggu 28 April lalu saya setengah terkejut ketika membaca laporan
Rien yang begitu trenyuh, bernada kepedihan, ketika Rien berkisah
tentang Timor Leste yang baru saja dikunjunginya untuk meliput pemilihan
presiden. Tetapi Rien benar bahwa ia tidak sendirian. Boleh dibilang
semua orang Indonesia yang mengunjungi Timor Leste kini, pernah
terserang sindrom seperti itu. Perpisahan, kapan pun, di mana pun, dan
karena sebab apa pun, selalu pedih. Apalagi kalau perpisahan itu sempat
diwarnai hati yang terluka di antara kedua pihak.
Namun
sebetulnya, Rien juga pasti mengetahui, perpisahan itu adalah jalan
terbaik bukan hanya untuk Timor Leste, tetapi juga bagi Indonesia. Tanpa
persoalan Timor Leste, kini diplomasi luar negeri Indonesia menjadi
sangat leluasa dan tanpa beban dalam merebut kembali citra Indonesia
sebagai salah satu pemimpin besar, baik di kawasan ini maupun secara
global. Rencana kunjungan Presiden Megawati ke Dili dalam rangka
perayaan kemerdekaan Timor Leste 20 Mei besuk—rencana yang menjadi salah
satu topik paling hangat di Dili—akan menjadi tonggak yang luar biasa
dalam membangun citra baru tersebut.
Apalagi
jika kelak Indonesia bisa dengan elegan keluar dari stigma Timor Leste
yang selama ini cukup menghambat pemulihan hubungan yang pernah sangat
indah dengan Australia. Megawati mempunyai peluang sangat bersejarah
dalam upaya pemulihan ini, sehingga dua bangsa besar, Indonesia dan
Australia, dapat kembali bersama-sama menjadi pilar penyangga perdamaian
di Pasifik Selatan, salah satu kawasan terdamai di dunia saat ini.
”Winning game”
Peluang
kita untuk mengubah Timor Leste dari losing game menjadi winning game,
juga secara nyata bisa diperoleh di dunia bisnis. Ambil contoh apa yang
terjadi hampir dua tahun terakhir ini. Sebelum Referendum 1999, setiap
tahun APBN harus mengalokasikan ekivalen sekitar Rp 1 trilyun untuk
pembangunan Timor Leste. Belum lagi dana nonbudgeter yang dikendalikan
langsung militer, serta nyawa-nyawa yang boleh dibilang setiap pekan
berguguran di sana.
Lalu,
apa yang terjadi kini? Ambil contoh penerbangan Merpati. Sejak akhir
tahun 1999, Merpati yang kini menerbangi Denpasar-Dili tujuh kali
seminggu sebagai salah satu jalur tergemuk, sedikitnya telah mengantungi
sekitar 50 juta dollar AS (Rp 470 milyar) dari jasa angkutan orang dan
barang. Belum lagi pariwisata di Bali yang menikmati tamu dari Dili
setiap akhir pekan.
Pertamina
juga pesta dollar. Dulu, Pertamina harus menjual premium dan lain-lain
di Dili dengan harga subsidi seperti di Jakarta. Kini Pertamina
menjualnya di Dili dengan harga 2-3 kali lipat. Jika konsumsi rata-rata
BBM di Timor Leste adalah 20.000 - 30.000 ton per bulan, kita tinggal
hitung saja berapa keuntungan Pertamina sejak akhir tahun 1999 hingga
sekarang.
Telkom
dulu harus mensubsidi operasinya. Kini, Telkom ongkang-ongkang kaki
tinggal menerima hasil sewa operasi peralatannya oleh Telstra, telkomnya
Australia yang kini berkiprah di Timor Leste. Industri dan perdagangan
di Surabaya pun menikmati rezeki lumayan, karena walaupun sudah mulai
mendapat saingan dari Thailand dan Cina, praktis hampir semua kebutuhan
sembako, elektronik, bangunan, bahan baku industri, kertas, dan alat
tulis masih didatangkan dari Surabaya.
Kalau
saja tidak ada penempatan kekuatan militer yang begitu mencolok di
perbatasan Timor Leste dan Timor Barat, arus barang dari Surabaya ke
Dili itu pasti akan jauh lebih cepat dan jauh lebih besar. Selama
perbatasan ditutup, arus barang dari Surabaya harus menempuh perjalanan
laut dua-tiga minggu untuk sampai ke Dili, padahal jika melalui jalan
darat dan feri hanya empat-lima hari.
Arus
barang ini juga bisa memberikan trickle down effect yang besar bagi
masyarakat sepanjang rute darat Surabaya-Dili itu ketika melewati NTT.
Kehadiran militer dengan skala besar di perbatasan Timor Leste dan Timor
Barat juga menghilangkan kesempatan tumbuhnya ekonomi rakyat setempat.
Harga komoditas pertanian di Timor Barat (orang Timor Leste menyebutnya
dengan Timor Loromanu), rata-rata hanya sekitar 30-50 persen dari Timor
Leste yang berekonomi dollar (kecuali beras yang belakangan ini
dibanjiri Vietnam). Andaikata terjadi transaksi bebas di perbatasan,
betapa untungnya masyarakat Timor Barat.
Begitu
besar potensi perdagangan di perbatasan ini sehingga ekonom Faisal
Basri ketika bertemu dengan mitranya, sejumlah ekonom muda Timor Leste,
Joao Saldanha dan kawan-kawan dari East Timor Study Group di Dili tahun
lalu, pernah secara panjang lebar dan antusias mendiskusikan kemungkinan
membentuk semacam free economic zone di perbatasan Timor Leste dan
Timor Barat. Gagasan ini kemudian ditangkap oleh Pemda NTT meskipun
hingga kini tetap tinggal sebatas wacana.
Timor
Leste juga membutuhkan ribuan guru, perawat, dan dokter bahkan teknisi
dengan gaji sedikitnya Rp 3-5 juta per bulan di luar dokter. Timor
Leste dengan penduduk satu juta orang memang bukan pasar berskala besar.
Tetapi sebagai negara baru, Timor Leste mendapat kemudahan ekspor
dengan bebas bea masuk ke Amerika Serikat untuk 49 jenis hasil industri
dan komoditas pertanian jika berlabel made in Timor Leste. Belum lagi
akses pasar sejenis ke Uni Eropa, baik secara langsung, maupun secara
tidak langsung melalui Portugal.
Sehubungan
dengan peluang ini, Penasihat Kadin Timor Leste (ASSET) Manuel
Carascalao yang beristrikan wanita Makassar, serta Ketua ASSET Oscar
Lima berulang kali mengundang pengusaha Indonesia untuk berinvestasi di
Timor Leste dengan investasi minimal 50.000 100.000 dollar AS dan
kemungkinan kemudahan jalur pintas untuk mendapatkan status permanent
resident (penduduk tetap). Oscar bahkan membuka pula kemungkinan
industri komponen low end-nya di Kupang, sedangkan high end termasuk
pengepakannya untuk ekspor dibuat di Timor Leste.
Ekonomi jasa
Timor
Leste sekarang ini memang tidak lebih dari sebuah negara baru dengan
persoalan kemiskinan dan berbagai persoalan lainnya yang kompleks
sebagaimana yang dikisahkan Rien Kuntari. SDM-nya pun masih sangat
terbatas untuk menjadi sebuah kekuatan perubahan meloncat bagi Timor
Leste. Bagi cukup banyak orang Timor Leste sendiri, potret kemiskinan
dan keterbelakangan ini bahkan sempat menjadi keputusasaan dan
kepasrahan.
Sebagai
saudara tua yang pernah seperempat abad mengangkangi Timor Leste,
sebetulnya kita tidak bisa mencuci tangan dengan realitas yang
dikisahkan Rien Kuntari tersebut. Kemiskinan dan buruknya mutu SDM itu
adalah sisa-sisa ”peradaban buruk” yang kita bawa ke sana, termasuk soal
KKN, premanisme, kekerasan, dan ketidakpatuhan pada hukum.
Namun,
Timor Leste yang kini miskin, terkebelakang, dan penuh persoalan, boleh
jadi adalah Timor Leste yang jauh lebih beruntung dibandingkan
Indonesia tahun 1945, bahkan bisa juga dari Indonesia yang kini
terperangkap dalam ketidakmenentuan arah reformasi, termasuk reformasi
hukum dan politik.
Panglima
FDTL Brigjen Taur Matanruak telah berulangkali secara tegas menyatakan
bahwa doktrin militer Timor Leste akan selalu dan tetap tunduk pada
legitimasi pemerintahan sipil. Ini membuat persoalan sangat pelik yang
dihadapi Indonesia dengan ambivalensinya soal TNI serta segala dampak
negatifnya pada hambatan reformasi hukum dan politik nasional, tidak
akan dialami oleh Timor Leste.
FDTL
juga sejak awal menegaskan tidak akan menggunakan sistem teritorial dan
akan tetap mempertahankan jumlah kecil walaupun kelak ekonomi minyak
akan membanjiri Timor Leste dengan dollar. Ini karena FDTL percaya bahwa
polisi lebih dibutuhkan rakyat bahwa diplomasi adalah survival policy
yang terbaik bagi Timor Leste, dan bahwa kemakmuran serta keadilan
otomatis akan membuat rakyat loyal pada negaranya.
Dalam
bidang ekonomi pun, disiplin fiskal yang selama dua tahun ini dengan
ketat diberlakukan di Timor Leste—antara lain melalui tidak adanya
subsidi beras dan BBM, serta bea masuk yang ketat di sebuah ekonomi yang
penyelundupannya sangat minim—memang sempat menimbulkan beban ekonomi
yang besar bagi rakyat, terutama dari sudut efek inflatoir-nya.
Disiplin
fiskal ini tidak saja akan membuat fundamental ekonomi Timor Leste
kokoh sejak dini, tetapi juga secara nyata telah memberikan penerimaan
yang secara relatif cukup kuat bagi pemerintah untuk mulai membangun.
Model ini juga akan sangat meminimalkan manipulasi populis oleh para
politisi partai besar di Timor Leste merdeka nanti, karena sejak sangat
dini kultur kesadaran pajak akan mengontrol perilaku pejabat
pemerintah/birokrasi. Apalagi dengan diberlakukannya mata uang dollar AS
sebagai mata uang resmi Timor Leste, maka dollarisasi moneter dan
ekonominya akan menuntut Timor Leste bisa survive dengan efisiensi
ekonomi yang terus semakin baik, termasuk disiplin fiskalnya.
Dalam
konteks itulah, dimotori oleh sejumlah ekonom muda lulusan
AS-Australia-Selandia Baru dan Indonesia, Joao Saldanha dan kawan-kawan
dari East Timor Study Group di Dili yang umumnya apolitik, kini sedang
terjadi perdebatan besar di Timor Leste mengenai model ekonominya ke
depan, terutama dengan bakal datangnya ekonomi migas tahun 2005.
Sejak
dini, East Timor Study Group sudah mewanti-wanti tentang ancaman Dutch
Disease—paradoks melemahnya pertumbuhan ekonomi akibat ketergantungan
yang terlalu besar pada satu jenis komoditas, misalnya minyak bumi—dan
mengimbau pemerintahan Xanana - Alkatiri untuk segera menyusun sebuah
blue print ekonomi Lorosae dengan ancang-ancang pascaminyak bumi tahun
2025, terutama dalam pembangunan infrastruktur dan pembangunan
pendidikan, maupun mempersiapkan sebuah model ekonomi alternatif sejak
awal.
Dengan
asumsi bahwa cadangan migas Timor Leste akan habis dalam 20 tahun, maka
jika penerimaan royalti migas Timor Leste sekitar 3 milyar dollar AS
per tahun mulai tahun 2005 (sekitar Rp 3 trilyun untuk negara dengan
penduduk kurang dari 1 juta orang, atau rasio fiskal Rp 3 juta per
penduduk per tahun), maka selambat-lambatnya tahun 2025 ekonomi Timor
Leste harus sudah mampu melepaskan diri dari ekonomi migas.
Prof
Stephanie Fahey dari Institut Riset Asia-Pasifik di Universitas Sydney
dalam salah satu kertas kerjanya tentang Timor Leste, meski tidak
menolak intensifikasi ekonomi agraris yang disebutnya biasanya penuh
dengan subsisdi terselubung, begitu pula ekonomi ekspor semacam industri
di Taiwan yang bisa berdampak pada lingkungan, tetap lebih cenderung
menawarkan apa yang disebutnya rentier economy atau ekonomi jasa bagi
Timor Leste.
Dengan
panjang lebar ia menguraikan potensi ekonomi jasa bagi Timor Leste,
mulai dari yang konvensional seperti turisme, kasino, pangkalan militer,
bendera kapal antarbenua, fasilitas transito, persinggahan yacht,
pendidikan tinggi yang berkualitas dan lain-lain, sampai ke yang
spesifik seperti fasilitas bebas pajak untuk perbankan dan lembaga
keuangan, telekomunikasi berbasis satelit, bunker pergudangan, fasilitas
pengolahan dan daur ulang sampah, serta berbagai outsourcing jasa dari
Australia, Singapura, dan Eropa.
Model
ekonomi seperti ini pun, menurut ekonom lainnya, akan menghindarkan
Timor Leste dari penyakit otoriter rezim minyak bumi yang hadir di
hampir semua negara yang eknominya didominasi penerimaan migas. Hanya,
model ekonomi sebagaimana yang diimpikan Stephanie bagi Timor Leste itu,
tentu membutuhkan infrastruktur yang prima, SDM yang unggul, hukum yang
disiplin, dan pemerintahan yang sangat stabil. Tetapi jika Pemerintah
Timor Leste secara sungguh-sungguh mendengar peringatan East Timor Study
Group sejak dini, 20 tahun ekonomi migas adalah waktu yang sangat cukup
untuk membangun infrastruktur ekonomi yang benar-benar kuat tersebut,
dan mencetak SDM yang diperlukan untuk model rentier economy itu.
Dalam
bidang SDM untuk model rentier economy pun, sebetulnya Timor Leste
tidak separah yang diperkirakan. Sekarang ini terdapat sekitar 50.000
Timor diaspora yang tersebar di seluruh dunia, di Eropa, Amerika,
Australia, dan Indonesia. Di Eropa, Amerika, dan Australia, sebagian
besar dari mereka adalah profesional dari tingkat paling bawah sampai
manajemen puncak.
Segelintir
dari mereka ini sudah kembali ke Timor Leste. Tetapi sebagian besar
dari mereka ini masih menunggu bagaimana perkembangan Timor Leste yang
merdeka di bawah Presiden Xanana. Jika Timor Leste yang baru ini mampu
tumbuh stabil, terutama tidak terseret pada rivalitas terselubung Xanana
vs Marie Alkatiri yang seharusnya menjadi Dwitunggal, arus masuk
keahlian dan modal dari Timor diaspora ini akan menjadi kekuatan ekonomi
yang dahsyat bagi masa depan Timor Leste.
Apalagi
jika pemerintahan yang stabil itu dapat memungkinkan penerimaan dari
sekuritisasi migas (menerima pembayaran royalti migas lebih dulu dengan
penerimaan yang didiskon) sehingga penerimaannya bisa dipercepat menjadi
langsung mulai tahun 2002 ini dengan premium risk serendah mungkin,
maka potret Timor Leste yang ekonominya ultra-modern ala Stephanie itu
tentu kapan-kapan masih akan bisa dilihat oleh Rien Kuntari. (Valens
Doy, wartawan)