Timor Leste & Indonesia
Dalam sebuah seminar bertajuk "East Timor: Yesterday and Today and Tomorrow" yang diselenggarakan oleh Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 6-7 November 1998, Sri Bintang Pamungkas yang pernah "semakan-seminum" dengan Key Rala Xanana Gusmao di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta, mengatakan bahwa Xanana Gusmao adalah orang yang lembut, sabar, dan optimistis.
Kepada
Sri Bintang, Xanana Gusmao menyatakan meyakini bahwa Timor Timur pasti
merdeka. Namun, Xanana Gusmao tidak mau Timor Leste yang merdeka itu
masih diliputi permusuhan dengan pemerintah Indonesia. Xanana Gusmao
menginginkan konflik bersenjata di Timor Timur cepat berakhir sehingga
kedua pihak segera menata diri.
Apa
yang diyakini oleh Xanana Gusmao terbukti, karena Timor Timur memang
bisa merdeka melalui referendum pada Agustus 1999. Negara Timor Leste
dideklarasikan pada 20 Mei 2002 menjadi Republik Demokratik Timor Leste.
Xanana Gusmao sendiri menjadi presiden pertama dalam sistem pemerintah
parlementer dengan Perdana Menteri Mari Alkatiri. Sebagai pribadi atau
negarawan, Xanana Gusmao kelak dapat memainkan peran strategisnya dalam
membangun silang budaya Timor Leste dan Indonesia untuk proyek
perdamaian dan kemanusiaan kedua negara.
Saling belajar
Belakangan
ini, kita tidak perlu terkejut mendengar kerusuhan dan konflik
bersenjata di negara Timor Leste. Negara yang relatif mulai tua seperti
Indonesia pun masih tidak luput dari masalah kerusuhan akibat krisis
ekonomi dan politik. Negara Republik Indonesia sendiri belum
sesungguhnya lulus dari ujian konflik atau kerusuhan di dalam negeri.
Mahalnya sebuah proses kemerdekaan yang diistilahkan Soekarno sebagai
jembatan emas ternyata berbanding lurus dengan mahalnya proses
pembangunan pascakemerdekaan itu.
Namun,
kalau kerusuhan atau konflik dapat dimaknai sebagai proses metamorfosis
sebuah negara-bangsa--layaknya seekor ulat menjadi kepompong dan
kupu-kupu yang indah--negara Timor Leste kelak dapat menjadi bangsa yang
indah. Negara Timor Leste bisa belajar kepada negara Indonesia yang
masih sulit berganti kulit dan wujud layaknya ulat menjadi kupu-kupu.
Indonesia adalah negara kepulauan dengan jumlah penduduk yang besar,
sedangkan Timor Leste adalah negara-kota dengan jumlah penduduk yang
masih kecil.
Pembangunan
sistem politik dan ekonomi Indonesia masih membingungkan. Untuk menjadi
negara sosialis atau negara kesejahteraan masih jauh, sedangkan untuk
menjadi negara kapitalis tidak sepenuhnya memenuhi syarat. Untuk menjadi
negara demokratis belum mapan, sedangkan tetap sebagai negara
otoritarian, Indonesia telanjur meninggalkan banyak korban kekerasan
pada rakyat. Memang belum terpikir bagi negara Indonesia untuk kembali
menjadi negara kerajaan seperti masa-masa sebelum kemerdekaan. Di sisi
lain, tidak sedikit orang Indonesia yang takut mencoba bentuk negara
federal atau serikat untuk mengatasi keretakan bangsa yang multikultur
ini.
Kerusuhan-kerusuhan
di Indonesia belum membawa hikmah perubahan sosial yang signifikan
secara kultural, politik, dan ekonomi, karena Indonesia lahir dari
kemarahan dan rasa frustrasi rakyat. Resolusi konflik pun tidak diusung
oleh desakan sebuah ide besar tentang model politik dan ekonomi atau
bentuk negara baru. Kita tidak bisa mengenang rentetan kerusuhan di
Indonesia seperti orang membaca dan mengenang perubahan sosial di
Prancis melalui Revolusi Prancis (1789). Memang revolusi sosial Prancis
itu telah dikritik karena mempecundangi kaum buruh, walaupun menorehkan
prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Seperti
daerah-daerah lain, Timor Leste memiliki bahasa daerah tersendiri
sehingga dapat membentuk identitas nasionalnya sendiri. Namun, bahasa
Indonesia yang pernah menjadi bahasa pengantar resmi bagi rakyat Timor
Leste ketika masih berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
seharusnya tidak dihapus dari percakapan sehari-hari. Minimal bahasa
Indonesia masih diajarkan di sekolah-sekolah agar menjadi pintu bagi
para pelajar negara Timor Leste untuk mempelajari kebudayaan Indonesia.
Bahasa
Indonesia sesungguhnya bisa menjadi jembatan budaya dan modal kultural
bagi negara Timor Leste dan negara Indonesia untuk membangun kerja sama
di bidang pendidikan dan kebudayaan. Seperti negara Malaysia, yang
semula berkiblat dan belajar dari Indonesia, akhirnya menjadi yang
terdepan dalam segala hal, bahkan jauh meninggalkan negara Indonesia.
Bila
pemerintah Timor Leste melihat bahasa Indonesia ini dari sisi
pertukaran dan silang budaya, bukan sekadar alat percakapan, bahasa
Indonesia akan menjadi sangat strategis untuk membangun kembali jembatan
kultural bagi persahabatan lintas negara Timor Leste dan Indonesia.
Silang budaya itu dalam pengertian pertukaran kesenian, ilmu,
pengetahuan, dan teknologi atau transfer pemain dan pelatih olahraga
profesional, seperti sepak bola.
Mungkin
sebagian orang Timor Leste yang tetap memilih berintegrasi dan tinggal
di Indonesia masih memiliki kawan dan sanak saudara di negara Timor
Leste dan juga sebaliknya. Mereka adalah duta budaya yang secara tidak
langsung bisa menjelaskan bahwa percampuran kultur Timor Leste dan
Indonesia yang pernah terjadi dulu dapat membuat siapa saja bisa berbagi
kasih sayang jauh melampaui batas teritorial dan administrasi negara.
Modal
kultural yang pernah dimiliki bersama oleh rakyat Timor Leste dan
Indonesia itu bisa pula menjadi media strategis bagi silang budaya yang
disebut people to people (p to p) untuk membangun jaringan penguatan
masyarakat kedua negara di era globalisasi, yang kini tidak dapat lagi
dibendung. Apalagi media p to p ini pun akan dipakai oleh banyak
kepentingan rezim modal internasional yang dapat menelan setiap negara
yang tidak siap, termasuk negara Indonesia atau Timor Leste yang masih
belia.
http://www.unisosdem.org/index.php
http://www.unisosdem.org/index.php